Ikan kecil
itu berhenti menggerakkan siripnya. Tidak terlalu jelas apakah dia sedang
mengumpulkan tenaga untuk kembali berenang menentang arus, ataukah memang dia
telah pasrah dan membiarkan dirinya terbawa air mengalir. Seandainya si ikan
bisa berpikir, mungkin benaknya akan penuh dengan keraguan. Haruskah aku
berenang ke hulu sedangkan aku tak tahu pasti apa yang ada di disana, ataukah
membiarkan diriku terbawa arus dan siapa tahu aku akan menuju air yang tenang
dan disitu aku bisa hidup dengan nyaman?
Setiap ikan
punya kodrat masing-masing. Dan setiap ikan bisa melakukan hal yang
berbeda-beda selama hidup di sungai, tetapi apapun yang ikan-ikan itu lakukan
tak akan pernah bisa merubah ketentuan alam bahwa air di sungai akan mengalir
dari hulu menuju hilir. Dan aku adalah satu dari ikan kecil itu. Aku berenang
melawan arus bukan untuk mencoba menolak kuasa alam, tapi aku melakukannya agar
aku tetap berada di aliran ini. Karena aku ini ikan air deras. Aku tak mau
membiarkan diriku terbawa arus dan berakhir di air tenang karena aku tahu bahwa
aku akan bosan hidup di air tenang. Tapi sesekali kuistirahatkan siripku barang
beberapa detik agar terbawa arus beberapa centimeter dan berenang kembali ke
air derasku.
Tetapi apakah aku memang terlahir sebagai ikan
air deras? Ataukah menjadi ikan air deras ini adalah pilihan hidupku? Aku masih
ingat bahwa aku dilahirkan di air tenang dan kedua orang tuaku membesarkanku di
air tenang. Hanya sesekali mereka
membawaku pergi ke tempat berair deras agar aku bisa berlatih bertahan
di dalamnya. Ternyata air deras terasa jauh lebih mengasyikkan bagiku dan
diam-diam aku sering berkhayal untuk berubah menjadi ikan air deras. Hingga
satu saat mereka melepasku dalam kedewasaan, tanpa ragu akupun berenang menuju
air deras. Apa benar aku menjadi ikan deras karena pilihan? Tak bisa dipungkiri
memang aku sering mengkhayalkan hidup di air deras yang penuh dinamika, tapi
aku selalu percaya bahwa pilihan itu kuambil karena aku memang ditakdirkan
sebagai ikan air deras. Karena aku memang terlahir sebagai ikan air deras.
Koper
berwarna coklat tua itu selalu menghuni satu sudut kamar tidurku. Bertuliskan
Badan Diklat Departemen Dalam Negeri, koper itu adalah pemberian seseorang yang
tak akan bisa dilepaskan dari perjalanan hidupku. Aku masih ingat saat usiaku
masih sekitar tujuh tahunan, dia yang rajin mengajariku mengaji “turutan”,
begitu kami di Jawa menyebut belajar membaca surat-surat pendek dalam Al-Quran,
selepas maghrib. Atau di sore hari sepulang sekolah dia mengajakku berjalan-jalan
menyusuri rel kereta api di dekat stasiun tua yang sudah tak beroperasi lagi.
Rel kereta
itu berada tepat di batas desa tempat tinggal Simbah (nenek dan kakek), dengan
taman bunga di seberang kantor Kabupaten. Rel itu membentang bagaikan batas
antara desa Banyuurip dengan dunia luar. Diujung sebelah timur terletak
bangunan tua bekas stasiun yang masih berdiri kokoh. Bangunan itu selalu
tertutup dan tak seorangpun tahu apa yang tersembunyi di dalamnya. Jendela tua
yang ada di bangunan stasiun itu masih terlalu tinggi untuk anak seumurku.
Pernah kususun beberapa batu untukku berpijak agar aku bisa mengintip apa yang
sebenarnya ada di dalam bangunan tua itu, namun debu yang sudah puluhan tahun
menghiasi jendela itu membuatku tak bisa melihat apapun. Hanya menyisakan
pikiran-pikiran seram yang membuat bulu kudukku merinding sendiri. Sebuah
alasan yang cukup kuat untuk meninggalkan keingintahuan itu.
Di sisi
utara stasiun terbentang peron yang sudah belasan tahun berubah fungsi menjadi
area penjemuran kerupuk. Kebetulan pabrik kerupuk milik Pak Rumedi hanya
berjarak kurang dari seratus meter dari
stasiun. Buat kami anak-anak kecil di masa itu, penjemuran kerupuk itu adalah
sumber cemilan gratis. Kadang kami mengambil beberapa buah kerupuk mentah dan
menjemurnya di rel kereta yang menjadi sangat panas waktu siang hari. Cemilan
yang lumayan alot namun menjadi primadona karena gratisan.
Di sore hari
area bekas stasiun itu selalu ramai, apalagi ketika musim layang-layang tiba.
Musim layang-layang hanya datang beberapa bulan dalam setahun karena selebihnya
kota kecil kami lebih sering diguyur hujan. Masih teringat ketika seorang teman
SD-ku meng-klaim bahwa kota kamu lebih layak disebut kota hujan daripada Bogor.
Dan setiap ada pertanyaan tentang kota mana yang disebut dengan kota hujan,
diapun selalu menjawab Temanggung dan mencoba meyakinkan bahwa kunci jawabannya
lah yang salah. Namun yang unik dari stasiun itu adalah keramaian yang ada
bukanlah karena banyaknya anak-anak yang bermain layang-layang disitu, tetapi
karena justru lebih banyak anak-anak bahkan orang dewasa yang datang kesana untuk
menunggu layang-layang putus.
Di belakang
kantor kabupaten adalah daerah yang dihuni oleh mayoritas orang Tionghoa di
kota kami. Mungkin karena tempat itu dekan dengan pasar dan hampir semua
pemilik toko di sekitar pasar adalah golongan mereka. Pada masa itu benang
untuk beradu layang-layang masihlah barang yang mahal dan bukan rahasia lagi
bahwa kaum Tionghoa-lah yang mampu membeli benang dengan kualitas bagus.
Temanggung adalah kota di lereng gunung, sehingga di sore hari arah angin
selalu konsisten mengalir dari gunung menuju ke datarang rendah. Saat suhu di
gunung lebih rendah, maka tekanan udara di gunung lebih tinggi sehingga angin
akan mengalir dari arah gunung menuju ke lembah. Bagitulah kira-kira penjelasan
dari buku IPA waktu SD dulu. Karena kebetulan daerah pecinan ada di atas
lembah, saat mereka beradu layang-layang maka layang-layang yang putus akan
terbawa angin menuju ke areal rel kereta di lembah dimana ramai orang sudah
menunggu dan akan berlomba menangkapnya.
Tapi aku dan
Paklik (kependekan dari Bapak Cilik, sebutan untuk paman di Jawa) datang hampir
setiap sore bukanlah untuk berburu layang-layang. Kami punya aktifitas favorit yang
unik, yaitu berburu bungkus rokok Gudang Garam. “Hanya yang Gudang Garam, Den…yang
Djarum gak usah,” begitu kata Pak Sugeng. “Kenapa Pak Geng? Kan sama-sama ada
nomernya,” tanyaku. “Yang Djarum nggak ada undiannya,” jelasnya. Pada masa itu
di bagian tutup bungkus rokok, jika dibuka lipatan di bagian dalamnya
tersembunyi nomor 1 sampai 12. Menurut Pak Sugeng, perusahaan rokok Gudang
Garam punya undian untuk yang bisa mengumpulkan seluruh nomor 1 sampai 12.
Sesuatu yang sampai saat ini aku tak pernah tahu kebenarannya karena tak pernah
kulihat ada iklan di koran ataupun majalah yang memuat berita tentang undian
tersebut. Hanya bagiku saat itu memanglah mengasyikkan untuk berburu bungkus
dan mencoba menebak-nebak nomor berapa yang tersembunyi di baliknya.
Koper
cokelat pemberian Paklik itu menjadi sarana penyimpanan barang berharga yang
kumiliki. Bukan karena nilai sentimentilnya, tetapi karena itulah satu-satunya sarana
penyimpanan berkunci yang kumiliki. Mulai dari raport, NEM dan ijazah sejak SD
hingga SMA beserta piagam-piagam rapi tersimpan di dalamnya. Dan setiap saat
kubuka koper itu, benda-benda yang tersimpan menyiratkan satu kesimpulan
untukku, monoton. Sepertinya hidupku selalu berjalan lurus tanpa hambatan yang
berarti, dan yang lebih parah...minim dinamika bagaikan si ikan kecil yang
hidup di air tenang.
Dalam hatiku
sering aku mengutuk keadaan itu. Aku ingin hidupku berwarna seperti
cerpen-cerpen di majalah Aneka, syukur-syukur mendekati cerita Lupus karangan
Hilman. Apalagi kalau bisa semacam Catatan Si Boy atau Balada Si Roy-nya Gola
Gong. Di alam bawah sadarku, doa itupun terpanjatkan. Aku ingin hidupku berubah
menjadi penuh warna, aku ingin menjadi ikan kecil yang hidup di air deras.