Aku iri dengan cobaan hidupmu.
Itulah sebuah komentar yang menjadi awal sebuah perbincanganku dengan seorang
sahabat lama melalui facebook messenger. Sebuah komentar unik yang akhirnya
merubah cara pandangku terhadap segala permasalahan hidup yang kualami saat itu. Meski saat awal membaca
komentar itu, agak sulit bagiku untuk dapat mengartikannya, antara komentar yang salah ketik, joke yang salah tempat, ataukah memang
ada makna terpendam didalamnya. Tetapi semua
menjadi lebih jelas setelah perbincangan
kami berlanjut dan mengalirlah penjelasan yang menyejukkan hati dan bahkan akhirnya mendobrak
semangat hidupku
kembali.
Allah tidak akan memberikan cobaan
yang melebihi kemampuan hamba-Nya. Begitulah frase yang sangat sering kita
dengar dan bisa menjadi jawaban
atas komentar sahabat tersebut. Setiap cobaan yang diberikan Allah kepada
hambanya akan selalu diikuti oleh solusi dan revolusi dari hamba tersebut untuk
menjadi manusia yang lebih baik dan akhirnya bisa mengatasinya. Bisa dikatakan
bahwa ketangguhan seseorang adalah berbanding lurus dengan seberapa berat
cobaan hidup yang dia teriuma. Jadi ketika kita dapat melauit cobaan yang
semakin berat, adalah juga sebuah indikasi bahwa kita sudah ada di level yang
lebih hebat, sudah naik kelas level ketangguhannya. “Aku melihat cobaan hidupmu sebagai tanda
bahwa kamu sudah ada di level manusia yang sangat tangguh sehingga Allah
melimpahkan cobaan sehebat ini padamu, makanya aku iri padamu”, sambungnya. Dan
akupun terhenyak. Benar-benar sebuah cara pandang yang sangat positif dalam menyikapi sebuah
permasalahan.
Katanya menjadi orang miskin itu cobaan hidup yang berat. Tetapi bukankah lebih berat menjadi
seorang yang pernah kaya dan akhirnya
jatuh
miskin. Seperti halnya orang bilang kalau menjadi pekerja kasar adalah sebuah
profesi yang sangat berat untuk dijalani, tetapi lebih berat lagi menjadi seorang yang pernah
merasakan kesuksesan karir dan akhirnya harus jatuh dan terpaksa menjalani
sebuah pekerjaan kasar. Di sisi lain menjadi seorang dengan karir cemerlang
adalah sebuah pencapaian yang hebat. Tetapi ketika seserang yang pernah jatuh
tadi akhirnya bisa kembali bangkit dan kembali menuai kesuksesan, buah yang
didapatkan akan terasa jauh lebih manis; dan begitulah kira-kira rangkuman dari sebuah fase dalam perjalanan
hidupku.
Terlahir di sebuah kota kecil di
lereng Gunung Sumbing dan Sindoro, aku tumbuh seperti layaknya seorang anak
desa di masa itu. Masa yang belum
mengenal handphone, computer dan video games. Masa dimana anak-anak kecil bebas
bermain diluar rumah bersama teman-temannya. Entah bermain kelereng,
laying-layang, atau permainan-permainan seperti petak umpet, gobak sodor,
jamuran, dan lain-lain. Bahkan TVRI pun saat itu masih menjadi satu-satunya
stasiun TV yang siarannya baru mulai jam enam sore. Masa kecilku pun juga
dihiasi dengan impian-impian yang sederhana, untuk bisa kuliah dan sukses
bekerja di Jakarta sampai akhirnya pensiun dan kembali menetap di kota kecilku. Tak pernah terbersit
pikiran bahwa Allah punya takdir yang lain untukku.
Tak bisa dipungkiri bahwa impian dan
harapan orang tua dan keluarga adalah
doa yang sangat dahsyat. Semasa aku kecil, tidak hanya kedua orang tuaku, kakek
nenek serta semua Paklik dan
Bulikku selalu yakin kalau suatu saat aku punya takdir besar dan akan bisa jadi
orang yang sukses. Sebuah frase yang sangat umum disampaikan dalam Bahasa Jawa
sebagai “wong gedhe,” sesuatu yang menurutku masih sangat jauh dari terwujud
tetapi setidaknya bisa menjadi sedikit
penjelasan
atas
perjalanan hidupku yang
sangat
jauh dari impian sederhanaku. Jangankan hanya merantau
ke Jakarta, saat ini aku sudah menjalani tahun ke-delapan hidup di Amerika
Serikat.
Di awal perjalanan, hidupku sangat minim dengan dinamika.
Mirip dengan penggalan syair lagu No Rain dari Blind Melon, All I can say is
that my life is pretty plain. Dan sepertinya perjalanan untuk meraih impian
sederhanaku juga akan berjalan sangat mulus, bebas hambatan seperti jalan tol.
Sekolah berjalan dengan lancar sampai akhirnya aku lulus SMA dengan NEM tertinggi,
Nilai EBTANAS Murni yang saat itu masih menjadi acuan kesuksesan hasil belajar,
dan diterima di perguruan tinggi idaman melalui jalur UMPTN. Dan bisa dikatakan
bahwa semua teraih dengan proses yang biasa-biasa saja, nyaris tanpa perjuangan
ekstra.
Namun setelah itu dinamika mulai
muncul ketika aku memasuki bangku kuliah. Lagi-lagi aku harus merujuk kepada
kekuatan sebuah impian, walaupun tidak secara eksplisit diucapkan sebagai doa,
apa yang sering kita impikan tanpa kita sadari bermakna sama dengan doa yang
kita panjatkan. Mungkin karena saking seringnya aku memimpikan hidup yang penuh
dinamika seperti cerita sekelas Catatan Si Boy, Lupus ataupun Balada Si Roy,
seiring dengan jalan tol di Jakarta yang semakin lama semakin macet dan tidak
layak disebut sebagai jalan bebas hambatan lagi, perjalanan hidupku pun ikut
berubah menjadi layaknya jalur lintas Sumatra yang penuh kelokan, tanjakan dan
turunan. Bukan berarti aku menyesali doaku sendiri dan perubahan itu, karena
justru selalu kusyukuri hidupku yang pada akhirnya berubah menjadi penuh warna.
Tahun 2008 bisa dikatakan sebagai kulminasi dari perjalanan
yang penuh tanjakan dan turunan tersebut. Tahun yang dimana perjalananku
mencapai puncak kebahagiaan saat istriku mengandung anak pertama kami dan juga
tahun yang menjadi awal sebuah perjuangan terhebat yang pernah kujalani hingga
saat ini. Impian indah yang sangat jelas di depan mata tersebut mulai berubah
sedikit kabur ketika istriku menelpon dari San Diego, California di suatu malam
di bulan Maret. “Alden dinyatakan berpotensi punya kelainan jantung,” kata
istriku sambil terisak. Saat itu kandungannya sudah berusia tujuh bulan dan keadaan
itu mengharuskan kami merubah rencana untuk mengambil resiko besar demi
menyelamatkan bayi kami. Satu keputusan yang akhirnya membawa kami berurusan
dengan pemerintah AS dan sebagai konsekuensinya kamipun harus berurusan dengan
pengadilan di negara orang.
Kelainan jantung yang diderita Alden bukanlah sesuatu
yang biasa, bisa dikatakan satu dari seribu kelainan jantung dan hanya ada AS,
Inggris dan Jepang dari seluruh negara
di dunia yang mempunyai fasilitas dan sumber daya manusia dengan
kemampuan untuk mengatasinya. Alden harus menjalani tiga kali operasi bedah
jantung kategori besar dengan beberapa operasi-operasi kecil yang tak terhitung
jumlahnya. Dalam dua tahun awal hidupnya, bayi ajaib kamipun harus menjalani
sebagian besar hidupnya di rumah sakit. Dan tentu saja membayangkan berapa
besar biaya yang dibutuhkan untuk semua prosedur tersebut akan membuat siapapun
pusing bukan kepalang. Ibaratnya dengan menjual semua organ tubuhku pun aku tak
akan mampu membayarnya. Dan hebatnya, semua itu masih belum menjadi puncak
cobaan dari perjalanan berat yang harus kami tempuh.
Tetapi memang tak bisa dipungkiri lagi kebenaran frase
yang disampaikan sahabatku tadi, bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan
melebihin kemampuan hamba-Nya. Melalui perjuangan yang tak terlukiskan
beratnya, kamipun pada akhirnya menemukan jalan untuk bisa berkumpul kembali. Di
akhir tahun 2009 akhirnya aku dan istriku bermigrasi ke AS setelah sempat harus
kembali ke Jakarta selama beberapa bulan dan harus meninggalkan anak kami
disana. Sebuah awal yang indah untuk mengarungi gelombang baru yang semakin
penuh warna. Saat itu kami telah kehilangan hampir seluruh asset pernah kami
miliki. Rumah dan mobil-mobilpun telah habis terjual dan hanya tersisa uang sekitar
$1500 di tangan kami.
Meskipun karirku di
Indonesia sudah terbilang cukup sukses, tanpa memliki pengalaman kerja di AS
ataupun pendidikan di AS, tak ada satupun perusahaan yang melirikku. Apalagio
saat itu AS juga tengah berada di puncak krisis ekonomi. Jangankan lowongan
pekerjaan, hampir semua perusahaan harus memangkas jumlah karyawannya. Sebulan telah
terlewatkan dan tak satupun interview kudapatkan. Masih cukup beruntung saat
itu kami bisa menumpang tinggal di tempat kakak iparku untuk bisa meminimkan
pengeluaran. Sampai akhirnya dengan terpaksa harus kutanggalkan rasa malu dan
gengsiku untuk bisa survive. Akupun mulai menguatkan hati dan mulai mengetuk
pintu toko-toko, restoran dan supermarket di sekitar tempat tinggal kami untuk
menanyakan apakah ada lowongan. Sebagai seseorang yang bertahun-tahun bekerja
di perusahaan-perusahaan multi nasional dengan perkantoran nan elit di Jakarta, hidupku berubah drastis
menjadi seseorang yang bahkan harus memohon untuk bisa mendapat pekerjaan kasar
dengan upah minimum. Lelah berjalan dari kios ke kios yang kurasakan tak ada
apa-apanya dibandingkan dengan beban mental yang harus kupikul.
Selalu ada jalan untuk siapapun yang mau berusaha. Kalimat
itu bukan hanya slogan kosong belaka. Pada umumnya seseorang bekerja delapan
jam dalam sehari atau 40 jam dalam seminggu dan libur di hari sabtu dan minggu,
tetapi itu tidak berlaku untukku. Dengan tiga pekerjaan, sebagai tukang potong
daging, pengantar pizza, dan tukang masak di restoran aku bekerja lebih dari 60
jam seminggu dan tak pernah punya waktu libur. Hanya satu hal yang selalu
memotivasiku, impian untuk bisa kembali memberikan kehidupan yang layak untuk
keluargaku. Dan jalan itu semakin terbuka ketika akhirnya aku bisa kembali ke
bangku kuliah dan melanjutkan studi S2 di bidang Biomedical Engineering di San
Diego State University.
Pada akhirnya semua
perjuanganku pun terbayar lunas. Dari seorang pemotong daging hingga kembali
bisa menjadi seorang engineer yang bekerja di Silicon Valley. Dari sebuah
keluarga beranggotakan empat orang yang hanya mampu menyewa satu kamar tidur
untuk tempat tinggal, saat ini aku mampu memberikan tempat tinggal yang layak
untuk keluargaku dimana anak-anakku bisa bermain sepuasnya di halaman dan tidur
di kamar masing-masing. Kata seorang teman, saat ini aku menjalani apa yang
dinyatakan sebagai “Living the American dream.” Dan akupun takkan pernah
berhenti mengucapkan Alhamdulillah bersyukur kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar