Rabu, 03 Juni 2015

Ikan Kecil


Ikan kecil itu berhenti menggerakkan siripnya. Tidak terlalu jelas apakah dia sedang mengumpulkan tenaga untuk kembali berenang menentang arus, ataukah memang dia telah pasrah dan membiarkan dirinya terbawa air mengalir. Seandainya si ikan bisa berpikir, mungkin benaknya akan penuh dengan keraguan. Haruskah aku berenang ke hulu sedangkan aku tak tahu pasti apa yang ada di disana, ataukah membiarkan diriku terbawa arus dan siapa tahu aku akan menuju air yang tenang dan disitu aku bisa hidup dengan nyaman?
Setiap ikan punya kodrat masing-masing. Dan setiap ikan bisa melakukan hal yang berbeda-beda selama hidup di sungai, tetapi apapun yang ikan-ikan itu lakukan tak akan pernah bisa merubah ketentuan alam bahwa air di sungai akan mengalir dari hulu menuju hilir. Dan aku adalah satu dari ikan kecil itu. Aku berenang melawan arus bukan untuk mencoba menolak kuasa alam, tapi aku melakukannya agar aku tetap berada di aliran ini. Karena aku ini ikan air deras. Aku tak mau membiarkan diriku terbawa arus dan berakhir di air tenang karena aku tahu bahwa aku akan bosan hidup di air tenang. Tapi sesekali kuistirahatkan siripku barang beberapa detik agar terbawa arus beberapa centimeter dan berenang kembali ke air derasku.
 Tetapi apakah aku memang terlahir sebagai ikan air deras? Ataukah menjadi ikan air deras ini adalah pilihan hidupku? Aku masih ingat bahwa aku dilahirkan di air tenang dan kedua orang tuaku membesarkanku di air tenang. Hanya sesekali mereka  membawaku pergi ke tempat berair deras agar aku bisa berlatih bertahan di dalamnya. Ternyata air deras terasa jauh lebih mengasyikkan bagiku dan diam-diam aku sering berkhayal untuk berubah menjadi ikan air deras. Hingga satu saat mereka melepasku dalam kedewasaan, tanpa ragu akupun berenang menuju air deras. Apa benar aku menjadi ikan deras karena pilihan? Tak bisa dipungkiri memang aku sering mengkhayalkan hidup di air deras yang penuh dinamika, tapi aku selalu percaya bahwa pilihan itu kuambil karena aku memang ditakdirkan sebagai ikan air deras. Karena aku memang terlahir sebagai ikan air deras.

Koper berwarna coklat tua itu selalu menghuni satu sudut kamar tidurku. Bertuliskan Badan Diklat Departemen Dalam Negeri, koper itu adalah pemberian seseorang yang tak akan bisa dilepaskan dari perjalanan hidupku. Aku masih ingat saat usiaku masih sekitar tujuh tahunan, dia yang rajin mengajariku mengaji “turutan”, begitu kami di Jawa menyebut belajar membaca surat-surat pendek dalam Al-Quran, selepas maghrib. Atau di sore hari sepulang sekolah dia mengajakku berjalan-jalan menyusuri rel kereta api di dekat stasiun tua yang sudah tak beroperasi lagi.
Rel kereta itu berada tepat di batas desa tempat tinggal Simbah (nenek dan kakek), dengan taman bunga di seberang kantor Kabupaten. Rel itu membentang bagaikan batas antara desa Banyuurip dengan dunia luar. Diujung sebelah timur terletak bangunan tua bekas stasiun yang masih berdiri kokoh. Bangunan itu selalu tertutup dan tak seorangpun tahu apa yang tersembunyi di dalamnya. Jendela tua yang ada di bangunan stasiun itu masih terlalu tinggi untuk anak seumurku. Pernah kususun beberapa batu untukku berpijak agar aku bisa mengintip apa yang sebenarnya ada di dalam bangunan tua itu, namun debu yang sudah puluhan tahun menghiasi jendela itu membuatku tak bisa melihat apapun. Hanya menyisakan pikiran-pikiran seram yang membuat bulu kudukku merinding sendiri. Sebuah alasan yang cukup kuat untuk meninggalkan keingintahuan itu.
Di sisi utara stasiun terbentang peron yang sudah belasan tahun berubah fungsi menjadi area penjemuran kerupuk. Kebetulan pabrik kerupuk milik Pak Rumedi hanya berjarak kurang dari  seratus meter dari stasiun. Buat kami anak-anak kecil di masa itu, penjemuran kerupuk itu adalah sumber cemilan gratis. Kadang kami mengambil beberapa buah kerupuk mentah dan menjemurnya di rel kereta yang menjadi sangat panas waktu siang hari. Cemilan yang lumayan alot namun menjadi primadona karena gratisan.
Di sore hari area bekas stasiun itu selalu ramai, apalagi ketika musim layang-layang tiba. Musim layang-layang hanya datang beberapa bulan dalam setahun karena selebihnya kota kecil kami lebih sering diguyur hujan. Masih teringat ketika seorang teman SD-ku meng-klaim bahwa kota kamu lebih layak disebut kota hujan daripada Bogor. Dan setiap ada pertanyaan tentang kota mana yang disebut dengan kota hujan, diapun selalu menjawab Temanggung dan mencoba meyakinkan bahwa kunci jawabannya lah yang salah. Namun yang unik dari stasiun itu adalah keramaian yang ada bukanlah karena banyaknya anak-anak yang bermain layang-layang disitu, tetapi karena justru lebih banyak anak-anak bahkan orang dewasa yang datang kesana untuk menunggu layang-layang putus.
Di belakang kantor kabupaten adalah daerah yang dihuni oleh mayoritas orang Tionghoa di kota kami. Mungkin karena tempat itu dekan dengan pasar dan hampir semua pemilik toko di sekitar pasar adalah golongan mereka. Pada masa itu benang untuk beradu layang-layang masihlah barang yang mahal dan bukan rahasia lagi bahwa kaum Tionghoa-lah yang mampu membeli benang dengan kualitas bagus. Temanggung adalah kota di lereng gunung, sehingga di sore hari arah angin selalu konsisten mengalir dari gunung menuju ke datarang rendah. Saat suhu di gunung lebih rendah, maka tekanan udara di gunung lebih tinggi sehingga angin akan mengalir dari arah gunung menuju ke lembah. Bagitulah kira-kira penjelasan dari buku IPA waktu SD dulu. Karena kebetulan daerah pecinan ada di atas lembah, saat mereka beradu layang-layang maka layang-layang yang putus akan terbawa angin menuju ke areal rel kereta di lembah dimana ramai orang sudah menunggu dan akan berlomba menangkapnya.
Tapi aku dan Paklik (kependekan dari Bapak Cilik, sebutan untuk paman di Jawa) datang hampir setiap sore bukanlah untuk berburu layang-layang. Kami punya aktifitas favorit yang unik, yaitu berburu bungkus rokok Gudang Garam. “Hanya yang Gudang Garam, Den…yang Djarum gak usah,” begitu kata Pak Sugeng. “Kenapa Pak Geng? Kan sama-sama ada nomernya,” tanyaku. “Yang Djarum nggak ada undiannya,” jelasnya. Pada masa itu di bagian tutup bungkus rokok, jika dibuka lipatan di bagian dalamnya tersembunyi nomor 1 sampai 12. Menurut Pak Sugeng, perusahaan rokok Gudang Garam punya undian untuk yang bisa mengumpulkan seluruh nomor 1 sampai 12. Sesuatu yang sampai saat ini aku tak pernah tahu kebenarannya karena tak pernah kulihat ada iklan di koran ataupun majalah yang memuat berita tentang undian tersebut. Hanya bagiku saat itu memanglah mengasyikkan untuk berburu bungkus dan mencoba menebak-nebak nomor berapa yang tersembunyi di baliknya.

Koper cokelat pemberian Paklik itu menjadi sarana penyimpanan barang berharga yang kumiliki. Bukan karena nilai sentimentilnya, tetapi karena itulah satu-satunya sarana penyimpanan berkunci yang kumiliki. Mulai dari raport, NEM dan ijazah sejak SD hingga SMA beserta piagam-piagam rapi tersimpan di dalamnya. Dan setiap saat kubuka koper itu, benda-benda yang tersimpan menyiratkan satu kesimpulan untukku, monoton. Sepertinya hidupku selalu berjalan lurus tanpa hambatan yang berarti, dan yang lebih parah...minim dinamika bagaikan si ikan kecil yang hidup di air tenang.
Dalam hatiku sering aku mengutuk keadaan itu. Aku ingin hidupku berwarna seperti cerpen-cerpen di majalah Aneka, syukur-syukur mendekati cerita Lupus karangan Hilman. Apalagi kalau bisa semacam Catatan Si Boy atau Balada Si Roy-nya Gola Gong. Di alam bawah sadarku, doa itupun terpanjatkan. Aku ingin hidupku berubah menjadi penuh warna, aku ingin menjadi ikan kecil yang hidup di air deras.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar